Isu penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam ranah hukum kini kian mengemuka setelah Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dikabarkan menyusun pembelaannya dengan bantuan teknologi AI. Dalam pusaran kasus yang menjeratnya, langkah ini menjadi sorotan publik dan memantik perdebatan di berbagai kalangan—dari praktisi hukum hingga pakar teknologi.
Dalam artikel ini, kita akan mengulas secara mendalam bagaimana Hasto menggunakan AI untuk menyusun pembelaan, mengapa hal ini dianggap sebagai terobosan, serta bagaimana dampaknya bagi praktik hukum di Indonesia.

Latar Belakang Kasus yang Menjerat Hasto
Dugaan Keterlibatan dalam Kasus Harun Masiku
Nama Hasto kembali mencuat dalam pemberitaan nasional menyusul kasus yang melibatkan buronan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Harun Masiku. Hasto disebut-sebut mengetahui keberadaan Harun dan bahkan diduga terlibat dalam proses pelarian politikus tersebut.
Meski belum ada dakwaan resmi, pemanggilan Hasto oleh KPK dan penggeledahan ruangannya menjadi pertanda bahwa proses penyelidikan memasuki babak baru. Situasi ini menuntut Hasto dan tim hukumnya untuk menyiapkan pembelaan yang solid dan terstruktur.
Tekanan Politik dan Media
Sebagai tokoh penting di partai penguasa, langkah hukum terhadap Hasto juga tak bisa dilepaskan dari dinamika politik nasional. Ada pihak yang menilai bahwa proses ini sarat dengan muatan politis. Di tengah tekanan media dan opini publik yang masif, Hasto dan timnya memilih pendekatan yang cukup tidak lazim: menyusun pembelaan dengan bantuan artificial intelligence.
AI dalam Dunia Hukum: Bukan Sekadar Gimmick
Apa Itu AI Legal Assistant?
AI legal assistant adalah program berbasis kecerdasan buatan yang dapat menganalisis dokumen hukum, menemukan preseden hukum, menyusun argumen legal, dan bahkan memprediksi hasil pengadilan berdasarkan data kasus serupa. Teknologi ini sudah berkembang pesat di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Singapura.
Dengan menggunakan model pembelajaran mesin dan pemrosesan bahasa alami (NLP), AI dapat membantu tim hukum menyiapkan dokumen pembelaan dalam waktu lebih singkat, namun tetap akurat.
Manfaat Penggunaan AI dalam Kasus Hasto
Menurut informasi dari tim hukum Hasto, penggunaan AI dilakukan dalam tiga tahap penting:
- Analisis Preseden Hukum: AI digunakan untuk menelusuri ratusan putusan pengadilan yang relevan dengan kasus pelanggaran etik dan obstruksi hukum.
- Penyusunan Draft Pembelaan: Dengan memberikan parameter khusus, AI menyusun argumen hukum berdasarkan data dan putusan sebelumnya.
- Simulasi Pertanyaan Pengadilan: AI juga diprogram untuk mensimulasikan skenario tanya-jawab antara pengacara dan hakim.
Hal ini tidak hanya mempercepat proses, tetapi juga memberikan lapisan ketelitian tambahan yang tak selalu bisa dicapai hanya dengan tenaga manusia.
Kronologi Penggunaan AI oleh Hasto
Dimulai dari Ketidakpuasan terhadap Konsultan Hukum Konvensional
Dalam beberapa pernyataan kepada media, Hasto mengungkapkan bahwa ia merasa pendekatan hukum konvensional yang terlalu tekstual tidak cukup membantunya keluar dari situasi sulit ini. Ia pun menginisiasi kerja sama dengan startup hukum berbasis AI yang kabarnya berbasis di luar negeri.
Startup ini dilaporkan memiliki sistem yang mampu mengakses basis data hukum Indonesia secara real-time dan menyusun argumen hukum berdasarkan UU yang berlaku serta preseden yang ada.
Tim Khusus AI Dibentuk
Hasto, yang dikenal memiliki latar belakang akademik yang kuat, tidak serta-merta menyerahkan segalanya kepada mesin. Ia membentuk tim khusus yang terdiri dari ahli hukum, programmer, dan data scientist. Tim ini bertugas untuk:
- Memberikan input data yang bersih dan relevan ke dalam sistem AI.
- Meninjau dan mengedit hasil keluaran AI agar tetap kontekstual dengan hukum Indonesia.
- Menjaga keamanan dan kerahasiaan data selama proses.
Output: Dokumen Pembelaan Versi AI
Dalam waktu tiga minggu, tim Hasto berhasil menyusun draf pembelaan setebal lebih dari 150 halaman. Dokumen ini mencakup pembelaan naratif, argumentasi hukum, serta analisis terhadap celah prosedural dalam proses penyelidikan KPK.
Hasto sendiri menyebut dokumen ini sebagai “sintesis antara logika manusia dan objektivitas mesin.”

Kontroversi dan Respons Publik
Pro vs Kontra dari Praktisi Hukum
Langkah Hasto ini memicu perdebatan di kalangan praktisi hukum. Beberapa pengacara senior menilai bahwa penggunaan AI dalam penyusunan pembelaan adalah bentuk kemajuan dan efisiensi. Namun ada juga yang khawatir bahwa teknologi ini bisa mengaburkan tanggung jawab etik pengacara.
“AI tidak bisa menggantikan intuisi hukum dan nilai keadilan,” kata seorang advokat senior kepada media.
Sebaliknya, generasi muda pengacara tampak menyambut baik langkah ini. Mereka menilai AI bisa menjadi partner yang andal untuk meningkatkan kualitas analisis hukum.
Sikap Lembaga Penegak Hukum
KPK sendiri belum memberikan tanggapan resmi mengenai penggunaan AI dalam pembelaan Hasto. Namun salah satu pejabat internal menyebut bahwa “selama tidak melanggar prosedur dan hukum, sah-sah saja menggunakan teknologi.”
Mahkamah Agung dan Ikatan Advokat Indonesia (Peradi) juga belum memiliki regulasi yang mengatur secara spesifik penggunaan AI dalam proses litigasi atau non-litigasi.
Masa Depan Hukum di Indonesia: Apakah AI Akan Jadi Norma?
AI sebagai Alat, Bukan Pengganti
Kasus Hasto membuka diskusi penting mengenai masa depan profesi hukum. AI, dalam konteks ini, sebaiknya dilihat bukan sebagai pengganti pengacara, melainkan sebagai alat bantu yang bisa meningkatkan kualitas layanan hukum.
Namun tentu saja, batasan etis dan hukum harus segera dibentuk untuk mencegah penyalahgunaan teknologi, terutama terkait kerahasiaan data klien dan potensi bias dalam sistem AI.
Tantangan Regulasi dan Etika
Pakar hukum teknologi mengingatkan bahwa sistem AI tetap dibangun oleh manusia, dan bias algoritmik bisa muncul jika data yang dimasukkan tidak representatif. Selain itu, belum adanya regulasi ketat membuat posisi AI dalam sistem hukum masih abu-abu.

Beberapa tantangan yang perlu diatasi antara lain:
- Validitas dokumen hukum yang disusun AI di pengadilan
- Perlindungan data pribadi dalam proses input AI
- Kepastian hukum terkait tanggung jawab kesalahan argumentasi AI
Peluang Kolaborasi Antara Hukum dan Teknologi
Terlepas dari kontroversi yang ada, langkah Hasto dapat menjadi momentum penting untuk memulai kolaborasi antara sektor hukum dan teknologi. Universitas hukum dan fakultas teknologi informasi bisa menjalin kemitraan untuk melahirkan “legal engineer”—profesi baru yang menjembatani dua dunia ini.
Indonesia berpotensi menjadi negara pelopor di Asia Tenggara dalam penerapan AI dalam praktik hukum, asal dikelola dengan baik dan diawasi oleh otoritas yang kompeten.
Penutup: AI dan Keadilan, Bisa Berdampingan?
Refleksi atas Langkah Hasto
Keputusan Hasto Kristiyanto untuk menggunakan AI dalam menyusun pembelaan bukanlah sekadar akal-akalan atau gimik media. Di balik langkah itu, ada kesadaran bahwa dunia sedang bergerak cepat, dan teknologi bisa menjadi sekutu dalam mempertahankan hak asasi dan prinsip keadilan.
Namun seperti semua teknologi lainnya, AI tetap netral. Ia bisa menjadi alat pembela atau alat penindas, tergantung siapa yang menggunakannya dan untuk tujuan apa.
Menanti Hasil Sidang dan Implikasi Lebih Luas
Publik kini menanti seperti apa hasil dari strategi pembelaan Hasto. Apakah AI akan membantu dirinya lolos dari jerat hukum? Atau justru akan membuka babak baru dalam integrasi teknologi dan hukum di Indonesia?
Apa pun hasil akhirnya, satu hal kini jelas: kecerdasan buatan telah memasuki arena hukum nasional, dan kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap implikasinya.